Akhirnya ku menulis blog lagi gara2 abis nonton film ini di bioskop. Rasanya kok banyak banget yang seliweran di pikiran ya. Fun fact: pas aku lagi nyetir nyari parkiran untuk nonton, ada lagu "Nuansa Bening" diputar di radio mobil. Tapi yang nyanyi versinya Vidi Aldiano, sedangkan yang jadi OST di film versi originalnya dari Keenan Nasution. Kok bisa pas aja gitu.
Sebelum nonton film ini, aku nyimak beberapa podcast-nya Joko Anwar yang bahas soal ni film di youtube. Ada yang sama pak Ahok, juga sama Pandji. Jadi niatnya Joko Anwar sebagai sutradara, film ini mau bahas tentang pendidikan dan udah diriset lama banget. Cuma baru rilis sekarang karena momennya dianggap lebih pas. Aku juga udah baca komen2 di ig yang bahas tentang film ini. Banyak juga yang ngasih teori2 tentang bu Diana, Panca, frekuensi radio di mobil, dll. Agak2 spoiler sih, tapi tetap merasa seru nontonnya karena sambil cocokin teori2 netizen tadi. Banyak yang cocok, tapi ada juga yang nggak sih menurutku.
Dulu aku pernah nonton "Hostage" tahun 2005 yg diperanin sama Bruce Willis. Filmya rada mirip karena sama2 nyeritain penyekapan di tempat tertutup. Abis nonton film itu rasanya ga nyaman banget, merinding gemeteran. Waktu itu rencana awalnya abis nonton bioskop mau lanjut makan siang, tapi setelah selesai jadinya langsung pulang karena badan udah lemes banget.
Nah, aku ngebayangin "Pengepungan di Bukit Duri" akan lebih sadis dibanding "Hostage", gara2 baca komen netizen yang udah pada nonton. Jadinya pas nonton "Pengepungan di Bukit Duri" aku merasa filmnya ga sesadis yang aku bayangin. Tapi tetap aja berasa deg2an sepanjang nonton. Kayak ikut dikejar-kejar gerombolan bocil kematian dan pengen puk puk pak guru Edwin. Selesai nonton aku masih bisa lanjut makan dan belanja walaupun banyak pikiran soal filmnya.
Di awal film sempet pengen nangis karena ngebayangin jadi etnis Tionghoa jaman kerusuhan 98. Dulu Mei 98 aku masih tinggal di Bali, dan Juni baru pindah ke Jakarta untuk lanjut jadi anak SMA. Jadi aku ga ngalamin sendiri kejadiannya tapi ikut nyimak beritanya di TV. Alhamdulillah waktu itu di Bali rasanya aman2 aja. Pas pindah Jakarta, masih banyak keliatan gedung2 pertokoan yang jendelanya hancur kena lemparan batu oleh massa. Masih ada tulisan "milik pribumi". Rasanya sedih, kok bisa ya ada orang2 yang setega itu sama saudara sebangsa.
Waktu kuliah, 3 tahun setelahnya, aku punya banyak sahabat Cina (panggilan ini aku pakai bukan untuk menghina, tapi justru untuk menunjukkan bahwa kata "Cina" seharusnya tidak dipakai untuk menghina). Mereka rajin belajar, setia kawan, ulet berjuang untuk selesaiin kuliah. Sebelum bergaul sama mereka, aku kejebak stereotipe kalau orang Cina itu pasti kaya, perhitungan soal duit, dan pintar. Hmm, ternyata aku salah terutama soal mereka pasti kaya.
Di awal kuliah aku punya sahabat Cina namanya A, aku kenal karena rumah kita searah dan hampir tiap hari naik bis bareng. Dia anak pintar dan perhitungan banget, tiap abis fotokopi pasti dihitung lagi lembaran kertasnya ada berapa banyak, sesuai ga sama hitungan yang dikasih abangnya. Walaupun diktatnya 100 lembar lebih juga tetap dihitung sama dia. Tapi ternyata dibalik semua itu dia punya cerita sedih. Pernah aku nemenin dia cari baju2 murah di Pasar Baru dan buku2 kuliah bekas di Pasar Senen. Biasanya kalau jalan sendirian, aku pasti kena cat calling cowo2 kurang kerjaan di sepanjang jalan. Pas jalan sama dia, cowo2 itu malah gangguin dia dan aku sama sekali ga ditanggap. Dia dipanggil2 "Amoy", bahkan ada yang sampai berani nyolek. Dan dia tetap jalan tanpa bereaksi, seolah2 itu hal yang biasa dia terima. Waktu itu rasanya aku shock. Ternyata ada perempuan seumur aku yang mengalami hal lebih parah. Setelah agak lama berteman sama dia baru aku tau dia bukan orang kaya, IPK nya harus tetap tinggi supaya ayahnya tetap mau kuliahin dia sesuai jurusan yang dia pilih (ayahnya pengen dia masuk sekolah bisnis). Untung dia anak pintar dan IPK nya selalu tinggi tiap semester. Kalau ga salah inget, di semester 4 orangtuanya dalam proses bercerai, dan pada akhirnya dia diminta untuk memilih ikut salah satunya. Seingat aku dia memilih untuk ikut ibunya di Medan. Akhirnya kuliahnya ga selesai dan aku ga tau kabarnya sampai sekarang. Rasanya suka nyesel kalau ingat tentang dia, harusnya waktu itu aku bisa bantuin dia, setidaknya dengerin curhatannya lebih sering dan lebih serius.
Balik lagi ke film, "Pengepungan di Bukit Duri" dikemas bagus banget. Temponya pas. Aktor2 pemainnya semua keren2. Ada komen netizen yang bilang kalau adegan di gudang itu kelamaan, tapi menurutku pas banget kok. Adegan2nya dibangun pelan2 dan ada sisipan2 yang bikin merinding. Mirip sama film2 action Hollywood dimana anggota gerombolannya "hilang" satu2 dan sisa pentolannya yg terakhir keluar dan berduel satu lawan satu. Keren banget lah pokoknya. Aku ga terlalu overthinking mikirin teori2 konspirasi di film ini, tapi nikmatin aja aliran ceritanya. Menurutku sih alurnya jelas, ga pake tebak2an. Cuma masih kesisa satu pertanyaan, sebenarnya ponakan Edwin yang dia cari2 itu siapa? Mungkin aku harus nonton lagi biar tau lebih pasti. Tapi mungkin juga salah satu pesan film ini adalah; ga semua pertanyaan akan kita ketahui jawaban pastinya. Bisa jadi malah kita ketemu sama orang yang berhubungan sama masa lalu dan ada harapan dari dia, padahal sebenarnya bukan dia jawaban yang kita cari. Film ini aku kasih rating 9/10. Kalau tayang di Netflix dan sejenisnya pasti aku nonton lagi.
Trus apa hubungannya sama pendidikan? Menurutku film ini menunjukkan apa yang terjadi saat sekolah gagal menjadi tempat yang aman untuk para siswanya. Siswa yang punya keluarga kurang harmonis, seharusnya bisa memiliki sekolah sebagai tempat aman yang lebih bisa menerima mereka dan menjadikan sekolah sebagai rumah ke-2 mereka. Kayak cerita film "Freedom Writers" tahun 2007. Seharusnya semua orang dewasa, orangtua dan guru, bisa menerima karakter anak seunik apapun. Mencintai mereka tanpa syarat. Kalau tidak ada sosok ideal yang bisa menjadi teladan, kira2 kekerasan di film seperti ini yang akan terjadi.
Buat yang belum nonton coba nonton deh. Mumpung masih ada di bioskop 😁
0 Komentar